Rabu, 19 Agustus 2009

JAWABAN ULASAN BOSMAN TENTANG BUKU PERMUKIMAN SUKU BATAK MANDAILING

Yth Bosman Batubara !

Terima kasih atas apresiasi yang begitu besar terhadap tulisan saya dan saya sangat surprise sekali bahwa kita dapat bersilaturahim kembali setelah pertama kali bertemu di tempat kost saya di Pogung, Yogyakarta, beberapa tahun yang lalu.

Surprise yang pertama, tentu saja karena saya tidak menyangka sama sekali kalau tulisan yang merupakan hasil tesis saya telah menggugah perasaan Bosman dan menyebabkan “sesuatu menggelegak dalam diri” Bosman. Mengapa saya surprise ? Mungkin karena Bosman telah mengenal saya sebelumnya dan tahu bahwa saya bukan orang Mandailing. Mungkin juga karena Bosman tidak tahu bahwa ternyata ada beberapa tulisan lain yang bercerita tentang Mandailing (terutama dari sudut pandang arsitekturnya) seperti contohnya, (1) buku tentang Inventori Arsitektur Tradisional Mandailing Godang oleh Isnen Fitri, dkk tahun 2000 pada program studi teknik arsitektur USU, dan (2) buku tentang Struktur dan Konstruksi Rumah Tradisional Mandailing Julu oleh Eko Sudjatmoko, dkk, tahun 1999.

Nah, dua tulisan tersebut akan menjawab beberapa pertanyaan sdr Bosman yang- kesannya menyalahkan saya-berkaitan dengan pola tatanan kampung (h.15). Bosman mengatakan bahwa saya mengilustrasikan permukiman masyarakat Mandailing sebagai struktur konsentris yang berlapis-lapis dan mengingatkan kita (menurut Bosman) pada struktur kerajaan di Jawa dan berhubungan dengan konsep kekuasaan.
Kalau Bosman membaca lebih cermat, dalam buku saya sangat jelas disebutkan bahwa pola tatanan kampung tersebut BUKAN SAYA YANG MENGATAKAN, tetapi merupakan hasil penelitian dari Isnen Fitri, dkk, tahun 2000 (seperti judul buku no.1 diatas, baca halaman 45, nomor 2 tentang tatanan kampung, buku tersebut dapat dibaca di perpustakaan USU) yang merupakan data inventori. Itupun, dalam deskripsinya, isnen fitri, dkk menggunakan kata “estimasi” artinya masih perkiraan. Dalam tulisan tersebut, saya justru menambahkan kalimat seperti ini : “Estimasi tentang tatanan kampung-kampung di Mandailing tersebut (yang dilakukan oleh Isnen Fitri,dkk, maksudnya) juga belum dapat mengemukakan dengan jelas dan logis fenomena yang ada, terutama yang berkaitan dengan pola tata-bangunan yang terdapat di sekitar Alaman Bolak Selangseutang. Penelitian tersebut (maksudnya, penelitian yang dilakukan oleh Isnen Fitri, dkk) lebih banyak menggambarkan tentang kondisi lingkungan hunian yang ada di desa-desa Mandailing pada masa sekarang dan belum dilengkapi dengan data dan fakta yang menunjukkan kondisi awal. Untuk lebih jelasnya, silahkan sdr Bosman membaca buku tersebut.

Sdr Bosman, mungkin perlu saya tegaskan disini bahwa ketika mempertahankan tesis saya di hadapan penguji, saya mati-matian menekankan beberapa hal, yaitu pertama bahwa Mandailing bukan Batak, kedua sistem pemerintahan dan kekuasaan di Mandailing yang sangat bertolak belakang dengan sistem pemerintahan dan kekuasaan di Jawa (padahal pada waktu itu semua penguji saya asli Jawa) dan ketiga tesis saya merupakan benih awal eksplorasi arsitektur Mandailing yang sesungguhnya, sehingga perlu terus diuji kebenarannya agar dapat diterima sebagai sebuah teori lokal baru. Dan begitulah sebuah tesis. Tesis dapat menjadi sebuah konsep jika sudah diuji dua kali, dan sebuah konsep dapat menjadi sebuah teori jika telah diuji berkali-kali. Begitulah proses terbentuknya ilmu.
Jadi, semua deskripsi pada bagian 2 buku saya yang mendeskripsikan tentang sistem sosial, budaya dan arsitektur Mandailing sepenuhnya merupakan “kutipan” dan merujuk pada data-data, hasil penelitian dan tinjauan yang pernah dilakukan oleh orang lain tentang Mandailing untuk menonjolkan keaslian penelitian saya. Kalau kita membacanya tidak terstruktur dan ‘loncat-loncat’ memang akan timbul kesan seolah-olah semua itu karangan dan pendapat saya, padahal sama sekali BUKAN. Justru saya merangkum beberapa tulisan dari sumber lain, agar pembaca dapat mengetahui perbedaan tulisan saya dengan tulisan-tulisan lainnya yang saya ‘kutip’.

So, yang mengatakan bahwa struktur konsentris di Mandailing mirip pemerintahan Jawa bukan saya, sdr Bosman, tetapi Anda sendiri berdasarkan analisa dangkal Anda terhadap isi yang hanya sebagian Anda baca dan pahami ! Dengan demikian ilustrasi di halaman 16 buku saya, mohon dicermati sumbernya, karena sangat jelas disitu tertulis I, Fitri, dkk, 2000. Jika Anda ingin mempertanyakan ‘pembiasannya’, silahkan menghubungi ibu Isnen Fitri, dkk di arsitektur USU. Beliau adalah salah satu dosen di jurusan teknik arsitektur USU.

Selanjutnya, saya ingin menjelaskan tentang masalah temporalitas kasus yang saya bahas.

Saya setuju dengan sdr Bosman, bahwa berarsitektur tidak hanya membicarakan permasalahan dialog dengan ruang, tetapi juga merupakan masalah rekaman temporal kebudayaan yang mewakilinya. Tetapi saya tidak setuju kalau dikatakan saya melupakan masalah temporalitas tersebut. Mengapa ? Kebetulan, yang di baca oleh sdr Bosman adalah bagian tinjauan pustaka yang berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan Mandailing. Bicara tentang sejarah dan kebudayaan Mandailing maka data acuan saya tentu saja tidak boleh salah, pertama karena saya memang buta masalah Mandailing dan kedua saya adalah peneliti yang harus menyajikan data yang valid, Untuk itu saya harus mencari data yang validitasnya dapat dipercaya, dan menurut saya departemen pendidikan dan kebudayaan akan merekam banyak inventori tentang Mandailing. Permasalahannya adalah, Bosman menilai saya meluputkan permasalahan temporal di halaman 31 tentang perubahan tatacara pendirian tiang utama jabu bona, padahal jelas sekali bahwa deskripsi tersebut berada pada posisi tinjauan pustaka, sehingga secara ilmiah memang tidak perlu dikomentari lebih dalam, karena itu adalah data yang disajikan oleh sebuah buku yang di terbitkan departemen pendidikan dan kebudayaan. Jika ingin dibahas, sebaiknya harus melalui sebuah analisa penelitian tersendiri. Justru saya sengaja tidak mengekspos-nya lebih dalam, karena selama melakukan penelitian tentang Mandailing, masalah temporal tersebut sebenarnya sudah masuk file otak saya sebagai salah satu data base untuk melakukan penelitian-penelitian lainnya. Mengapa salah satu ? karena memang banyak lagi substansi lain tentang Mandailing yang sangat menarik untuk dieksplore… Mungkin sdr Bosman ingin tahu beberapa item lain yang menjadi interest saya pada Mandailing ? Beberapa sudah saya publikasikan ke jurnal-jurnal ilmiah dan beberapa lagi sedang dalam proses penulisan, seperti Ekspresi Islami pada Permukiman Mandailing Julu, Pola tata-bangunan rumah-rumah Kahanggi, Mora dan Anak Boru di permukiman Mandailing Julu, Keragaman dan Keseragaman Ruang di Mandailing Julu, Konsepsi jalan dan PARIK di lingkungan permikiman Mandailing Julu, Variasi Pola Desa di Permukiman Mandailing Julu, Sungai di Permukiman Mandailing Julu, Konsepsi Banua pada tataran Meso Alaman Bolak Selangseutang, Timelesness & Temporal di Permukiman Mandaling Julu dan masih ada banyak ide lain yang ingin saya eksplore dari penelitian awal yang sudah pernah saya lakukan. So, tolong dibedakan antara data dan analisa. Lagipula, awalnya, penelitian saya tersebut lebih terfokus pada keberadaan Alaman Bolak yang sangat menonjol di setiap kampung, tetapi semakin jauh saya menyelami fenomena Mandailing semakin banyak hal-hal menarik yang ingin saya teliti, termasuk juga masalah temporal tersebut.
Perlu sdr Bosman tahu, bahwa semua tema dan substansi yang menjadi interest saya di atas, dalam pembahasannya semakin menguatkan dan mempertegas bahwa MANDAILING BUKAN BATAK !

Selanjutnya, saya juga ingin menjelaskan masalah macam penunjuk arah di lingkungan permukiman Mandailing Julu.

Sdr Bosman mengatakan bahwa saya ‘gagal’ menjelaskan tentang macam penunjuk arah di lingkungan permukiman Mandailing Julu. Saya justru ingin mempertanyakan, jangan-jangan malah sdr Bosman yang salah menilai tulisan saya ? Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologi dengan model paradigma naturalistik (baca : Metodologi Penelitian Kualitatif karya Prof.Dr.H. Noeng Muhajir, Penerbit Rase Sarasin, 2000) peneliti haruslah bersikap senatural mungkin dalam melihat dan menangkap fenomena di lapangan. Dalam hal ini, jika yang diteliti lokusnya ada di Mandailing, maka untuk mencapai validitas data yang natural dan objektif, harus dilakukan juga oleh orang yang bukan suku Mandailing. Mengapa ? karena, penilaian pasti akan sangat berbeda jauh antara orang yang buta tentang Mandailing dengan orang yang memang suku Mandailing, dilahirkan dan dibesarkan di Mandailing, terutama dalam hal intervensi data. Sedikit banyaknya, data yang diolah pasti akan dimaknai menurut pemahaman yang orang Mandailing tahu tentang Mandailing, padahal dalam pendekatan fenomenologi dengan model paradigma naturalistik, hal tersebut tidak boleh dilakukan. Jadi, sdr Bosman harus paham bahwa saya melakukan itu menurut langkah kinerja atau step-step yang memang seharusnya dilakukan dalam pendekatan fenomenologi dengan model paradigma naturalistik. Saya belum gagal menjelaskan fenomena macam penunjuk arah di lingkungan permukiman Mandailing Julu, karena yang saya lakukan adalah pada tahapan ekspolasi dan studi awal dan wajar jika hasilnya masih premature, karena memang tidak ada yang meneliti tentang itu sebelumnya, bahkan oleh masyarakat Mandailing sendiri.
Namun, ada kesalahan yang paling fatal dari sdr Bosman dalam menilai analisa saya tentang macam penunjuk arah di lingkungan permukiman Mandailing Julu (h.33). Sdr Bosman mengatakan bahwa ada kesalahan pemahaman dalam buku tsb, yaitu bahwa jae, julu, dolok dan lombang dimaknai sebagai suatu area, padahal menurut sdr Bosman itu hanya penunjuk arah. Wow…., itu yang saya katakan interfensi tadi. Karena sdr Bosman warga Mandailing, dengan cepat dan pasti mengatakan bahwa jae,julu, dolok dan lombang hanya penunjuk arah. Beda dengan saya yang bukan Mandailing, saya tidak mau buru-buru mengatakan bahwa jae, julu, dolok dan lombang hanya penunjuk arah, tetapi ada makna lain yang tersirat dari sebutan-sebutan itu (saya tidak dapat menjelaskan disini seperti apa fenomena menarik yang saya temukan berkaitan dengan sebutan jae, julu, dolok dan lombang tersebut, karena tidak tepat momennya. Selain itu, saya juga sedang terus meneliti hal tersebut, dan apabila waktunya memungkinkan, saya akan bawa ke forum nasional atau internasional untuk diperdebatkan secara terbuka). Dan begitulah penelitian dengan pendekatan fenomenologi dengan model paradigma naturalistik, kita tidak boleh menilai sesuatu menurut pengetahuan kita, karena nanti dapat menjadi solipsisme, yaitu benar menurut diri sendiri. Kita harus mencoba memahami suatu fenomena lebih dalam tidak hanya dari sesuatu yang diucapkan tetapi lebih pada sesuatu yang tersirat dari fenomena yang tampak oleh mata. Dalam hal ini, pemahaman dangkal kita tentang arah yang selama ini digunakan, harus dipahami sebagai sesuatu yang lebih dari itu. Pasti ‘ada sesuatu’ yang belum ter-eksplore. Untuk lebih jelasnya, sdr Bosman dapat membacanya di hal.99
Selain itu, sdr Bosman, saya baru meneliti 12 desa saja, sementara ada banyak ratusan desa lainnya di Mandailing yang harus dikonfirmasi tentang fenomena tersebut. Terus terang saja, seharusnya studi awal saya dapat menjadi inspirasi bagi peneliti lainnya untuk menguak fenomena-tidak hanya-jae, julu dolok, lombang tetapi juga beberapa temuan lain yang sudah coba saya kumpulkan, sendirian (dan tentu saja sebagai orang yang bukan warga Mandailing), di permukiman Mandailing Julu. Dengan latar belakang sebagai orang yang notabene bukan warga Mandailing, saya mencoba menyajikan fenomena tersebut se-natural mungkin, sesuai metodenya. Sebagai bocoran, dapat saya katakan disini bahwa jae, julu, dolok lombang tidak sama dengan utara selatan timur barat, dan bukan hanya sebagai penunjuk arah ! Satu hal lagi, jae, julu, dolok, lombang juga berkaitan dengan adanya fenomena ‘atas bawah’ yang dalam pemikiran masyarakat Mandailing berbeda dengan pengertian atas bawah secara umum pada masyarakat lain dimanapun. Unik bukan? Itulah Mandailing… terlalu banyak keunikan yang saya dapatkan di Mandailing, sehingga saya semakin cinta dengan Mandailing….! Tidak ada fenomena di Indonesia semenarik fenomena di Mandailing !
Jangan terlalu cepat mengatakan saya gagal menjelaskan tentang macam penunjuk arah di lingkungan permukiman Mandailing Julu. Bukankah seharusnya kita dapat duduk bersama mendiskusikan hal tersebut (atau kalau perlu dengan pendekatan semiotika arsitektur) agar dapat menguak misteri keunikan Mandailing ? Karena saya belum selesai sampai di buku tersebut saja ….!

Mengenai Peta hasil Survei (h.8) hal tersebut terjadi karena kesalahan pengeditan akhir yang dilakukan belakangan. Perlu sdr Bosman ketahui, bahwa editan pertama telah selesai saya lakukan pada tahun 2002 di Yogyakarta dan awal 2003 saya kembali ke Medan. Pada juli 2004, saya dihubungi pihak Gama Press, yang mengatakan bahwa file saya yang sudah di edit tahun 2002 lalu, hilang. (menurut informasi, pada waktu itu telah terjadi mutasi dan perubahan struktur pengurus Gama Press, sehingga beberapa berkas ada yang tidak lengkap). Yang tertinggal hanya hardcopy-nya saja, sehingga saya diminta mengedit ulang dan mengirimkan kembali naskah berikut softcopy-nya ke Gama Press. Peta tersebut pada awalnya adalah peta dasar yang hanya menyajikan nama-nama desanya tanpa titik yang jelas, sehingga saya menambahkan beberapa pointers untuk menunjukkan lokasi tiap desa. Masalahnya, pointers tersebut dapat bergeser ketika file di-copy-paste, sehingga disitulah (seolah-olah) terjadi kesalahan letak desa. Atas kesalahan itu, tentu saja saya mohon maaf.
Hal ini juga menjawab tentang judul buku ; Permukiman Suku Batak Mandailing. Saya pun baru tahu judulnya seperti itu, setelah saya menerima hasil cetaknya. Selama masa pengeditan, kami tidak pernah membahas tentang judulnya. Saya tidak pernah berfikir sama sekali kalau judulnya jadi sedemikian, dan mengganggu sensivitas masyarakat Mandailing. Dan untuk itu, saya juga mohon maaf yang sebesar-besarnya, terutama pada masyarakat Mandailing.
Sebagai saran, mungkin perlu ada penelitian terus menerus tentang Mandailing terutama yang bertemakan MANDAILING BUKAN BATAK. Penelitian yang terus menerus tersebut dapat menggugurkan semua teori awal yang mengatakan bahwa Mandailing adalah batak. Jika hasil penelitian tersebut dipublikasikan secara nasional dan internasional dan kemudian terus diuji oleh seluruh pemerhati Mandailing dan simpatisannya, bukan tidak mungkin pata tahap selanjutnya akan terbit buku panduan nasional tentang Mandailing yang sebenarnya : The Real Mandailing. Sehingga dengan demikian, setiap peneliti yang ingin meneliti tentang Mandailing, dapat menggunakan panduan yang benar tentang Mandailing. Maaf sebelumnya, tetapi kebanyakan masyarakat kita dari Sabang sampai Merauke, tahunya, Mandailing itu Batak. Jadi, ini adalah tantangan bagi kita untuk membuktikan bahwa hal tersebut tidak benar.
Saya pikir, saya sebagai orang luar Mandailing telah memulai usaha untuk menunjukkan identitas Mandailing yang sebenarnya (walaupun tentu saja masih premature). Tetapi, kita juga harus ingat, bahwa sesuatu itu harus dimulai.

Mengenai penerjemahan istilah (h.29-30), itupun bukan saya yang menterjemahkan. Saya sama sekali tidak tahu bahasa Mandailing, bagaimana saya bisa asal-asalan mengartikan bahasa Mandailing ? Perlu sdr Bosman ketahui bahwa itu adalah data yang saya kutip dari buku Momografi Kebudayaan Angkola-Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Proyek Pengembangan Permuseuman tahun 1983, Sumatera Utara. (saya kira, cukup jelas saya deskripsikan pada tulisan saya mengenai data-data yang saya kutip dan saya acu, dan lebih jelasnya dapat dilihat di Daftar Pustaka, halaman 101). Jadi, mungkin ini adalah semacam informasi juga bagi warga Mandailing lainnya, untuk mengecek isi buku-buku yang berisi tentang data primer Mandailing yang pernah ada, khususnya buku-buku lama, agar tidak terjadi kesalahan informasi yang berakibat kesalahpahaman seperti ini. Sdr Bosman dapat membaca buku tersebut di Museum Sumatera Utara, jalan Gedung Arca Medan.

Mengenai pembahasan struktur tata-bangunan (h.69) yang berkaitan dengan eksplorasi fungsi parik, secara khusus saya sudah membahasnya terpisah (seperti yang anda baca pada beberapa substansi yang sedang dan akan saya teliti di atas). Dan mengenai pola berlapis dan berhadapan, yang menurut anda belum tersentuh, sebenarnya bukan tidak tersentuh tetapi saya sudah menyentuhnya lebih dalam dalam pembahasan khusus dan lebih dalam (dalam tulisan yang lain, yang belum dipublikasikan). Tetapi, studi awalnya terasa sangat jelas saya deskripsikan di hal. 69 s/d 76. Jadi, jika sdr Bosman ingin tahu seperti apa tinjauan lebih mendalam tentang hal tersebut, dapat ditanyakan lagi pada sesi yang lain pada silaturahim kita, ok ? Intinya, buku perdana saya tentang Mandailing yang-menurut anda-sudah anda bedah, dapat melahirkan ratusan buku lainnya, yang sudah dan sedang saya siapkan (tetapi tentu saja tergantung sponsor) Jika ada yang berminat untuk mempublikasikannya, saya sangat senang sekali. Dan, tentu saja pembahasannya sudah lebih dalam dan tajam, karena hal tersebut adalah kali kedua saya fokus di Fenomena Mandailing yang Unik.

Sdr Bosman, buku tersebut sudah saya rintis sejak 9 tahun yang lalu (sejak tahun 2000) dan sepanjang perjalanan kedepannya, banyak koreksi, pengembangan dan penemuan baru yang saya lakukan tetapi belum terpublikasikan secara nasional, sehingga masih saya saja yang tahu. Kebetulan, hanya buku itu saja yang sdr baca, sehingga banyak perkembangan baru dari tulisan tersebut yang sdr Bosman belum baca.

Tentang sungai (h.84) sdr Bosman mungkin hanya membaca hal.84 saja, sehingga terburu-buru mengatakan saya gegabah telah meluputkan pengetahuan orang Mandailing. Jika sdr Bosman lebih teliti, coba baca lanjutan hal. 84 tersebut, tepatnya di hal 92 s/d 95. Di sana cukup jelas saya deskripsikan mengapa sungai memiliki arti penting di Mandailing. Saya tidak mungkin menuliskan kembali isi buku di hal 92 s/d 95 tersebut di sini, karena ada 3,5 halaman dengan gambar dan ilustrasi penjelas. Oleh karena itu, kepada masyarakat Mandailing yang lain saya sangat berharap agar buku tersebut dapat dibaca langsung sehingga dapat mengetahui sendiri isinya dan bukan menilainya dari pendapat orang. Karena bagaimanapun juga, membaca langsung akan memberikan pemaknaan yang berbeda dibandingkan jika kita hanya mengetahuinya dari satu sumber saja dengan informasi yang setengah-setengah.
Dan perlu saya tegaskan di sini, bahwa pada akhir pembahasan di hal. 92 s/d 95 tersebut, saya sangat berhati-hati mengambil kesimpulan, sehingga saya menulis begini “ Namun demikian, hasil sementara ini masih menimbulkan keragu-raguan dan pertanyaan-pertanyaan baru yang berhubungan dengan tema-tema temuan di atas. Beberapa pembahasan masih merupakan fakta, interpretasi dan analisis awal yang menunjukkan pentingnya sungai bagi masyarakat Mandailing. Untuk mengetahui makna sungai secara mendalam yang mungkin lebih dari sekekdar hal-hal tersebut di atas tentu sangat dibutuhkan eksplorasi lebih mendalam terutama yang berkaitan dengan aktifitas dan interaksi manusia dengan sungai sebagai salah satu elemen penting di dalam huta “

Mengenai sungai, pembahasan khusus pun telah saya lakukan, dan saya rencanakan juga pembahasan tentang sungai di Mandailing ini akan menjadi materi utama desertasi S3 saya di UGM. Eksplorasi awal tentang sungai di Mandailing tersebut dapat sdr Bosman ikuti (jika berminat) pada Seminar Nasional Jelajah Arsitektur Nusantara di Kampus ITS Sukolilo, Surabaya tanggal 09 september 2009 mendatang, karena saya telah memasukkan naskah saya sebagai salah satu materi yang akan didiskusikan para forum nasional yang bertema Ke-bhineka-an ruang di arsitektur nusantara. Untuk pendaftaran, silahkan menghubungi Lies (08123042544) dan Dian (0817592908) atau anggersukma@gmail.com atau petungan@megatruh.co.id

Kepada masyarakat Mandailing yang ingin mengetahui seperti apa sebenarnya isi buku saya tersebut, akan lebih fair rasanya jika langsung membacanya, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan saya tidak nyaman dalam beraktifitas selama beberapa hari setelah saya membaca tulisan sdr Bosman.
Perlu saya ingatkan, membaca buku tersebut harus terstruktur dan tidak boleh meloncat-loncat dari satu halaman ke halaman lain yang tidak berurutan, karena akan menimbulkan kesalahpahaman. Bacalah dengan sequence atau urut-urutan yang jelas, sehingga pada setiap bagian, sdr akan menemukan analisis dan kesimpulan akhir yang selalu merujuk pada perlunya penelitian lebih mendalam unutk memastikan fenomena tersebut. Karena bagaimanapun juga, sebuah tesis baru diuji sekali. Tesis harus terus diuji, agar dapat menjadi konsep dan ilmu baru bagi bangsa ini umumnya dan bagi Mandailing khususnya.

Saat ini, saya tetap semangat menulis semua hal tenang Mandailing, padahal saya bukan orang Mandailing lho. Mengapa ? Karena bagi saya, Mandailing mampu mewakili kekayaan arsitektur Indonesia baik fisik maupun non-fisik. Oleh karena itu, saya sangat berharap bagi semua lapisan masyarakat Mandailing agar dapat bersatu padu memperjuangkan karakter Mandailing yang sebenarnya.

Surprise yang kedua, saya kagum kepada sdr Bosman yang justru dari bidang berbeda telah memberikan apresiasi cukup dalam atas tulisan saya. Padahal, banyak juga kan warga Mandailing yang sebidang dengan saya, tetapi belum seterbuka ini menanggapi karya awal saya di tahun 2000 tersebut. Saya semakin yakin dengan adanya genius loci di Mandailing, setelah saya membaca eksplorasi sdr Bosman terhadap tulisan saya. Genius loci tersebut, yang sedang saya cari dan terus teliti akan menjadi base bagi tolok ukur yang menegaskan Mandailing BUKAN BATAK. Dan, tentu saja selama proses pencarian tersebut, saya perlu dukungan banyak orang dari berbagai kalangan, terutama masyarakat Mandailing dimanapun berada. Kepada masyarakat Mandailing, saya mohon, tolong beri saya informasi sebanyak-banyaknya tentang Mandailing.
Saya bangga menulis tentang Mandailing, apalagi ketika sdr Bosman mengatakan bahwa buku saya tersebut bak ‘rinai yang membasahi di kemarau panjang’. Semoga tanggapan saya ini dapat menjadi pencerahan bagi beberapa informasi yang tidak benar, dan saya sangat berharap, perbaikan dapat kita lakukan di semua literatur, agar informasi yang benar tentang Mandailing menjadi jelas dan tidak ‘bias’.

Kepada sdr Bosman sudah saatnya mendarmabaktikan ilmu yang sdr dapatkan di tanah Jawa untuk membangun kampung Anda, Mandailing. Saat ini, Mandailing tengah berbenah, banyak potensi yang mulai dilirik asing. Ayo warga Mandailing, jangan biarkan tanah moyang kita digarap orang asing. Kita bisa kok, terutama Bosman-Bosman lainnya di seluruh penjuru Indonesia… !

Saya juga mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat Mandailing jika ada yang kurang berkenan dengan tulisan saya !

Akhirnya, semoga tidak ada lagi yang tercuri dari diri, seperti yang dikatakan oleh sdr. Bosman…!

Cut Nuraini
Penulis Buku Permukiman Mandailing
Staff Pengajar di JurusanTeknik Arsitektur ITM
Calon Mahasiswa S3 Program Studi Arsitektur UGM